“Deja Vu”; Mengintip PilkadaPenulis: Hamdan eSA (Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP Unasman)Setiap orang mungkin pernah berada pada suatu kondisi batin yang tiba-tiba saja “merasa pernah mengalami” apa yang kini sedang ia alami. Gejala ini biasa disebut déjà vu atau dalam tradisi psikologi dikenal dengan istilah paramnesia yang artinya; sudah pernah dialami. Déjà vu lebih sering terkait dengan suatu hal, orang, situasi, atau kondisi yang ketika itu cukup akrab dengan kehidupan subjek (orang yang mengalami).Ia dapat saja menjadi pengalaman jiwa yang buruk atau menakutkan karena si subjek seakan menyaksikan penggalan video yang mengisahkan kehidupannya yang mungkin arasional, janggal atau bahkan seram. Déjà vu yang dialami dengan demikian bisa saja dirasakan melalui peristiwa yang sungguh sedang terjadi pada diri subjek atau lewat mimpi.Oleh karenanya, sebagai gejala psikologi, déjà vu semestinya bukan sesuatu yang diproduksi secara sengaja apalagi untuk berulang-ulang oleh sebuah kebudayaan yang dicipta oleh manusia. Di lain sisi déjà vu akan menarik “yang baru dialami” dan “yang seakan pernah dialami”, bertemu di satu titik keraguan; benarkah pernah terjadi atau baru terjadi? Yang menjadi menarik ketika déjà vu diproduksi oleh praktik politik atau sebut saja tradisi politik lokal di republik ini.Pilkada; Tradisi Lima TahunanPenyelenggaraan pilkada yang dilaksanakan setiap lima tahun sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai melakukan sesuatu secara berulang-ulang. Ia merupakan mekanisme yang secara periodik bergerak membentuk lingkar spiral atau pegas.Jika titik awalnya dari bawah dan masa lima tahun sama dengan satu lingkaran, maka untuk sepuluh kali pilkada (sama dengan usia 50 tahun pemerintahan) sejatinya akan mengangkat tingkat kehidupan masyarakat pada level sepuluh lapis lingkaran. Jadi bukan berulang apalagi untuk maksud ala bisa karena biasa, melainkan tumbuh semakin tinggi.BACA JUGA: Menyoal Haramnya Salam Lintas AgamaSebagai mekanisme demokrasi, pilkada hanyalah merupakan bagian akhir dari proses rekruitmen kepemimpinan politik daerah. Sebelumnya ada proses panjang yang harus dilalui dan lebih urgen. Bagian lebih awal menjadi sangat penting dan menentukan —dan mestinya lebih seru— adalah proses rekriutmen kader dan kepemimpinan di tingkat internal setiap partai politik.Dengan demikian pilkada mestinya tidak menjadi bagian yang disebut-sebut paling “salah” dalam mengekspresikan kekecewaan terhadap jalannya pemerintahan pasca pilkada. Kualitas demokrasi pilkada dan kualitas kepemimpinan pemerintahan yang dihasilkannya sangat ditentukan oleh profesionalisme kerja partai politik sebagai mesin demokrasi. Dan profesionalisme partai politik ditentukan oleh sistem pengkaderan anggota partai politik, apakah mampu melahirkan calon pemimpin yang diharapkan seluruh masyarakat.Jadi, nasib bangsa dan negara sesungguhnya sangat ditentukan oleh kualitas partai politik. Sangat naïf bila justru partai politik menciptakan image keliru bahwa pemilu atau pilkada merupakan titik sentral perjuangan demokrasi dan karenanya ia menjadi “pesta rakyat” yang dirayakan berulang-ulang setiap lima tahun. Anehnya, dalam konteks ini, sangat langka terdengar rakyat berdemonstrasi mengkritik partai politik yang seharusnya bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan dan apa yang dialami bangsa ini.Karena itu pula, momentum pilkada bagi masyarakat bukan sebuah tradisi berpesta atau berpasrah. Ia merupakan momentum untuk tidak menciptakan kesalahan atau kekeliruan secara berulang-ulang. Hanya orang “bodoh” yang membiarkan kesalahan dan kejelekan yang sama terjadi berulang. Untungnya, dalam konteks demokrasi Indonesia, pemimpin berpredikat baik pun hanya dapat berulang (oppo’) sekali.Déjà Vu dan PilkadaDalam masa yang telah ditentukkan, biasanya secara serentak beberapa Provinsi atau Kabupaten melaksanakan pilkada. Harapan dan janji adalah hal positif dalam hidup manusia. Sayangnya harapan menjadi sasaran empuk untuk merumuskan kemulukan janji. Harapan dan janji muncul beriring ke mana-mana dalam rel yang berbeda, meberi pengaruh hampir ke seluruh ruang; dari rumah, kantor, pasar, media, dompet, saku, bahkan pikiran dan perasaan.BACA JUGA: Menggali Makna Kemerdekaan SejatiHarapan sebenarnya tidak memerlukan janji ketika semua orang memiliki harapan yang sama yakni perubahan, kesinambungan, kemajuan, kesejahteraan, dan sebagainya. Karena itu, harapan menjadi lebih penting dari soal siapa calon yang akan terpilih. Namun dalam tradisi demokrasi yang dikonstruk di republik ini, harapan menjadi olahan politik yang begitu lezat tersaji dalam bentuk janji.Bahkan visi dan misi sebagai rumusan perencanaan rasional tidak berarti apa-apa tanpa janji. Dengan kata lain janjilah yang mengkonstruk harapan dan bukan sebaliknya harapan mengkonstruk janji. Dalam kerangka inilah déjà vu politik dapat hidup subur.Déjà vu pilkada menjadi berbahaya karena memproduksi sikap yang tak dapat membedakan ¾atau menganggap buat apa repot-repot membedakan¾ masa lalu, kini dan akan datang, karena semuanya sama saja.Déjà vu juga memproduksi sikap yang menganggap tidak penting lagi soal jujur atau tidak jujur, sebab Negara yang direpresentasikan elit politik dan birokrasi pemerintahan daerah, yang semestinya dihargai karena memegang kepercayaan rakyat, justru sebaliknya semakin berani dan gemar melakukan “pencurian” terhadap Negara. Baru saja menghianati janji politik, kini bersiap-siap untuk suksesi berikutnya dengan beragam janji lama dalam kemasan baru.Masyarakat tidak mengambil pelajaran dan bahkan menikmati dirinya sebagai korban penghianatan janji manis oleh calon yang sejak dulu itu juga orangnya, aktor-aktor penunggu setia kekuasaan.Masyarakat memahami pilkada hanya sebatas pesta demokrasi dengan sangat materialis. Menukar dengan murah kepentingan masa depannya sendiri dengan kepentingan para elit politik. Menghianati janji dan dihianati menjadi biasa dan semakin biasa terjadi, berulang dan berjalan ala bisa karena biasa.Kekeliruan cara pandang terhadap pilkada akan melahirkan kekeliruan dalam memilih pemimpin daerah, dan kekeliruan yang berlapis itu akan menciptakan kondisi déjà vu alias paramnesia sosial.BACA JUGA: Hanya Negara yang Berhak dan Wajib Mengelola TambangMasyarakat akan terus merasakan permasalahan yang sama berulang-ulang, bertahun-tahun, dan selanjutnya menderita berbagai penyakit mental yang dilahirkan oleh déjà vu seperti disebutkan di atas. Mengalami mimpi berulang-ulang yang lahir dari harapan hasil kontruksi janji.Setiap momentum pilkada, saatnya bagi masyarakat untuk merubah segalanya. Hanya masyarakat yang “bodoh” yang membiarkan buaya “mengobrak-abrik” daerahnya berulang kali, dan lebih keliru lagi jika memeliharanya. Harus ada semangat mengubah dan memperbaharui cara berpikir, bersikap dan bertindak, melawan déjà vu pilkada dan elit-elit politik yang memproduksi déjà vu tersebut untuk kelanggengan kekuasaannya.Saatnya masyarakat menyamakan tekad dan pilihan untuk bangkit melawan segala bentuk pembodohan politik. Tentu dengan cara mengabaikan segala janji dan materi para calon yang telah terbukti bertahun-tahun tidak memiliki kemampuan apa pun kepada masyarakat kecuali mengulang-ulang menciptakan penderitaan rakyat, menciptakan déjà vu sosial sebagai gangguan mentalitas masyarakat yang semakin tertekan tak berdaya.Saatnya masyarakat menyamakan tekad dan pilihan untuk bangkit dari mimpi, dan segera menentukan pilihan secara cermat terhadap para calon yang memiliki semangat baru, pikiran baru, visoner, wawasan dan jaringan yang luas, serta skill kepemimpinan.Saatnya menentukan masa depan. Ingin lepas dari mimpi lama yang berulang-ulang atau menjadi penonton kemajuan daerah lain sambil terus mengidap déjà vu?PERCIK adalah media informasi daring yang dikelola oleh MD KAHMI Kota Makassar, didedikasikan bagi segenap warga KAHMI untuk berbagi berita, opini dan informasi terbaru yang berkaitan dengan eksistensi dan kegiatan organisasi KAHMI, serta gagasan dan pemikiran mengenai keislaman dan keindonesiaan. Kirimkan press release berita, artikel atau opini Anda melalui form ini.