Jangan Malu Belajar Pada Kelebihan Orang LainPenulis: Ahmad M. Sewang - Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin MakassarSaya akan memulai tulisan ini dengan bersyukur pada Sang Maha Kuasa, “Saya bersyukur pada-Mu ya Allah, sebab Engkau telah mengurniakan banyak pengalaman yang berharga dalam menjalani hidup. Engkau juga mempertemukan banyak orang bijak yang berbeda-beda. Karena banyaknya karunia yang Engkau berikan sampai pada saat tertentu, rasanya sudah malu saya meminta lagi pada-Mu, jangan sampai digolongkan termasuk hamba yang tak tahu diri bersyukur pada-Mu.”Sebagai tanda syukur, saya berusaha men-sharing setiap pengalaman itu kepada para sahabat. Satu dari pengalaman itu, sebagai berikut:Saya pernah mendapatkan pengalaman berharga di negeri “Kincir Angin”. Kami saat itu sedang riset sebanyak enam orang dari Indonesia.Salah satu tempat riset adalah di Henri Krimer, Pusat Pengembangan Kristen di Belanda. Menariknya, setiap ada pendeta dari Indonesia selalu kami diundang diskusi untuk ikut memberi masukan pengembangan misi Kristen di sana.Suatu ketika, kami enam orang datang memenuhi undangan karena ada pendeta lagi yang datang dari Indonesia, yaitu Pendeta Sumartana dari Yoyakarta dan pendeta Zakaria Ngelow dari Makassar. Keduanya tiba di Leiden dalam waktu tidak bersamaan.Kami kemudian diundang dan ditempatkan di sebuah ruangan tunggu. Dengan ramah sang pendeta menyapa kami, “Tunggu dulu di sini barang 10 menit karena kami ingin misa lebih dahulu,” kata sang pendeta. Mereka sudah mengerti bahwa kami sudah beragama dan tidak boleh lagi jadi sasaran misi.BACA JUGA: Hargai Perbedaan, Bangun Sinergi untuk Kemaslahatan Umat dan BangsaPengalaman kedua terjadi di Indonesia sendiri, tepatnya di Airport I Gusti Ngura Rai, Bali. Kejadiannya sudah satu dekade lewat ketika melakukan pertemuan penentuan kelulusan mahasiswa SPMB yang ditempatkan di Bali.Saya ketinggalan tas kecil di bandara. Padahal di dalam tas itu berisi semua surat-surat penting, seperti tiket kembali, uang, dan dokumen lainnya.Setiba di hotel baru sadar bahwa tas saya tertinggal. Jadi saya tidak jadi masuk kamar dan kembali ke airport. Di tengah perjalanan saya telepon sekuriti untuk mengecek tas yang ketinggalan itu.Setelah itu sekuriti berkata, “Kami sudah amankan tas itu, namamu benar seperti di kartu nama. Nanti di airport bisa dichek ulang isi tasnya.”Tiba di airport melihat tas masih utuh, bisa dibayangkan kegembiraan saya. Ternyata di negeri tercinta yang orang lain mengatakan sedang dilanda anomali sosial, masih bisa menemukan manusia jujur.Jadi manusia yang sudah sampai pada tingkat peradaban tertentu sudah menyadari aturan bahwa tidak bisa mengambil barang yang bukan haknya.Selanjutnya orang yang sudah beragama tidak bisa lagi menjadi sasaran misi. Sayang sekali kesadaran semacam ini belum dipatuhi secara merata, misalnya di Indonesia pada setiap akhir Desember, masih ada pimpinan perusahaan memerintahkan bawahannya di tingkat pelayanan pada konsumen untuk berpakaian sinterklas, pada hal mereka notebene adalah muslim.BACA JUGA: Menyoal Upaya Legalisasi Zina untuk RemajaKarena itu, masing-masing umat beragama seharusnya menguasai lebih dahulu aturan penyebaran agama masing-masing, seperti dalam peraturan tiga menteri. Dengan menguasai aturan tersebut telah ikut menciptakan suasana rukun dan damai antara umat beragama.Setiap pemeluk umat beragama tidak boleh lagi menjadi sasaran misi dan dakwah agama lain. Hanya aturan ini belum merata baru sebagian negara, itu pun pada daerah tertentu melaksanakannya. Mungkin itu sebabnya pada daerah tertentu di dunia Barat umat Islam merasa aman.Saya pernah memposting pengalaman Tarikh Ramadhan, saudara Hasan al-Banna yang meminta suaka politik di Prancis Selatan.Setelah beberapa tahun dalam suaka politik, Ramadhan membuat pernyataan, “Saya bersyukur pada-Mu ya Allah, karena Engkau menempatkan saya di tempat aman, sekali pun beda agama. Andai kata, saya minta suaka di negeri yang tidak tolerans bahkan di negeri muslim sekali pun, seperti di Arab Saudi, mungkin saya selalu dalam ancaman, bukan karena beda agama, melainkan karena beda pemahaman agama atau mazhab.”BACA JUGA: Menuju Format Baru Peringatan HUT Kemerdekaan RIDi sini dibutuhkan pada setiap agama mendidik umatnya, menjadi umat berperadaban, seperti masyarakat madani yang dipimpin Nabi di Madinah. Memang program utama Nabi segera setelah Hijrah adalah mengubah nama kota Yasrib menjadi Madinah.Kata madinah satu asal dari kata tammaddun yang artinya peradaban. Maksudnya Nabi ingin menciptakan masyarakat berperadaban, yaitu masyarakat yang saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yang di dalamnya tidak lagi ditemukan pelecehan agama lain.“Tidak boleh mengukur agama orang lain, dengan agama sendiri atau penganut suatu agama dipakai mengukur agama orang lain.” Jika itu yang dilakukan pasti kacau-balau. Untuk menghindari itu oleh pemerintah telah membuat regulasi untuk mengatur hubungan antara dan intern umat beragama.Sayang sekali pendidikan peradaban ini belum merata di seluruh dunia, baik di dunia Barat atau pun di dunia Timur. Sehingga kita masih mendengar ada orang yang seenaknya masih melecehkan agama lain.Sekali lagi, inilah tantangan kita sekarang, tantangan seluruh pimpinan umat beragama, untuk menciptakan harmoni dalam dunia baru yang dihuni oleh umat madany yang aman dan damai serta saling menghargai perbedaan. Inilah yang disebut masyarakat ber-bhineka tunggal ika atau hidup harmoni dalam perbedaan.Wasalam, Makassar, 2 September 2021PERCIK adalah media informasi daring yang dikelola oleh MD KAHMI Kota Makassar, didedikasikan bagi segenap warga KAHMI untuk berbagi berita, opini dan informasi terbaru yang berkaitan dengan eksistensi dan kegiatan organisasi KAHMI, serta gagasan dan pemikiran mengenai keislaman dan keindonesiaan. Kirimkan press release berita, artikel atau opini Anda melalui form ini.